Penulis : ADE CHANDRA

Akhir-akhir ini berbagai peristiwa konflik dan kekerasan melanda masyarakat Indonesia. Anarkhisme sosial dan aksi brutal berbaris mewarnai ruang publik. Kejadian-kejadian berisikan pencideraan terhadap eksistensi dan esensi kemanusiaan menjadi kian dominan. Melalui, media massa, berita dan laporan tentang kekerasan telah menjadi menu utama pembaca dan pemirsa. Dari aras lokal, drama konflik dan benturan kepentingan lintas teritorial yang dengan cepat tersiar ke penjuru dunia. Jarang disadari akan dampak apabila media justeru hanya sifatnya memberitakan saja, tanpa ada pengkajian lebih mendalam serta tak mampu memberikan alternatif solusi penyelesaian masalah. Kenyataan demikian sekaligus semakin meneguhkan pemahaman bahwa esensi, posisi, relasi dan komunikasi antarmanusia  di masyarakat sangat problematik serta konfliktual.

Di awal tahun 2011, berbagai bentuk konflik berbaris, baik vertikal maupun horizontal. Aksi kolektif yang bermutasi ke dalam bentuk massa, seringkali berujung pada tragedi kekerasan secara langsung. Pelibatan banyak aktor semakin menambah tinggi tensi konflik. Demikian juga tentang issu yang diangkat, lompat dari satu tema ke tema lain, kadang tumpang-tindih, bergeser atau berubah namun tetap memiliki watak mengancam, memaksakan, dan tentu sangat membahayakan. Menyimak fenomena konflik dan kekerasan yang membentang luas di nusantara, banyak yang kemudian melihatnya sebagai cara pengalihan issu semata. Tak sedikit kalangan yang menilai bahwa konflik merupakan suatu kejadian yang memang dirancang.

Masih kuat dalam ingatan kita barisan tragedi memilukan yang melibatkan kelompok pada peristiwa Ahmadiyah di Ceukesik-Banten, kerusuhan yang disertai pembakaran tempat ibadah dan fasilitas umum di Temanggung, serta perseteruan warga dengan penghuni pesantren di Jawa Timur. Ironis, kejadian Banten-Temanggung-Jawa Timur, berlangsung secara beruntun hanya dalam hitungan hari. Tetapi yang lebih disayangkan bahwa hingga sekarang, belum ada kejelasan tentang penyelesaian konkrit yang memberi rasa aman masyarakat. Di sisi lain, parastakeholders yang diharapkan dapat memediasi benturan-benturan tersebut belum memiliki kapasitas yang memadai. Pemangu kepentingan justeru terjebak dalam cara pandang dan tafsirnya masing-masing.

Dalam bentuk konflik yang berbeda, kira-kira sebulan sebelum peristiwa Ceukesik, masyarakat Indonesia larut dalam “demam” sepak bola ketika PSSI berlaga di piala AFF. Pada putaran awal bergulirnya liga tersebut, Tim Nasional mencatat hasil gemilang. Tak berlebihan kiranya lahir harapan besar dari seluruh rakyat Indonesia terhadap  momentum penting tersebut agar menjadi babak baru kebangkitan sepak bola nasional. Irfan bahdi dan Gonzales telah mengetuk nasionalisme kebangsaan. Presiden SBY, Menpora, Ketua PSSI, juga larut seperti halnya masyarakat pecinta sepak bola. Sebab kedua pemain tersebut awalnya bukan WNI. Irfan Bahdi sempat menjadi sosok fenomenal menjadi idola para remaja. Di jejaring sosial, kepopulerannya seperti menjadi agama baru saat itu. Meski akhirnya Tim Nas belum berhasil menjadi juara, tetapi dampak kekecewaan masyarakat berbuntut panjang. Menpora dan Ketua Umum PSSI pun terlibat perseteruan serta saling menyalahkan. Masalah sepak bola telah masuk ranah politik, dan hingga kini penyelesaian PSSI belum juga tuntas.

Konflik juga terjadi antarlembaga di pemerintahan. Konflik KPK VS Polri, MA dan Kejaksaan, antar komisi di DPR, dst. Banyak kalangan melihat bahwa fakta sosial tersebut telah berkontribusi terhadap frustasi sosial masyarakat. Pada kasus Bank Century misalnya, sosiolog dari Universitas Indonesia; Imam Prasojo, pernah mengatakan bahwa masyarakat kecil di desa menjadi sinis terhadap para pejabat negara setelah mengetahui duduk perkaranya melalui media komunikasi massa. Semua kasus tersebut tidak jelas juga penyelesaiannya.

Luka hati masyarakat bertambah ketika kasus-kasus korupsi terbongkar dan selalu saja melibatkan sejumlah pejabat tinggi negara. Uang rakyat yang dirampas tak sedikit jumlahnya. Masyarakat semakin marah ketika kasus-kasus korupsi dikontraskan dengan nasib para TKI dan TKW yang mengalami kekerasan fisik yang serius di negara tempatnya bekerja, atau nasib masyarakat di pulau-pulau kecil dan di wilayah perbatasan yang serba kekurangan. Masyarakat Kalimantan Timur yang bersebelahan dengan Malaysia, sangat jarang mendapat perhatian Jakarta. Tidak heran apabila masyarakat di tapal batas tersebut tak hafal lagu Indonesia Raya. Sebab pemenuhan kebutuhan sehari-hari diperoleh dari desa-desa sekitar yang bukan bernaung di bawah merah-putih. Kondisi sekolah atau fasilitas pendidikannya sungguh memprihatinkan. Informasi dan hiburan yang diterima radio atau televisi semuanya berasal dari media massa negeri jiran.

Di hampir seluruh sudut kota di Indonesia, para pengemis, gelandangan, dan preman di mulut gang terasa mengancam keselamatan warga. Putus sekolah dan ketidak-beruntungan ekonomi telah meninggikan angka dan bentuk penyakit sosial. Di Masyarakat desa, terpaan media massa dengan segala bentuk isi dan kemasannya membawa akibat terhadap gaya hidup, terutama bagi para anak muda desa. Benturan nilai lama dan baru berlangsung. Modal sosial masyarakat desa yang selama ini menjadi pilar pokok sistem kemasyarakatan terkikis hilang digantikan oleh nilai, sikap, dan perilaku seperti yang ditawarkan dalam sinetron, infoteinment, atau sistem berpikir arogan seperti dalam debat, talkshow, dan dialog-dialog khusus yang menghadirkan pejabat negara atau anggota dewan.

Di tingkatan sosial, para tokoh masyarakat kebingungan menghadapi sikap dan perilaku warga yang sangat individualis dan tak sensitif terhadap kehidupan bersama. Anehnya, warga yang jarang melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial lingkungan adalah mereka yang sehari-hari bekerja di sektor formal yang mestinya meneladankan kerja sama sosial yang integratif, tolerir, mengembangkan keberpihakan pada warga yang kurang berdaya,  melindungi warga minoritas yang rawan mengalami diskriminasi, dst. Struktur sosial masyarakat ditingkahi orientasi yang bukan mengarah pada kemajuan bersama. Masing-masing warga terlepas dari ikatan sosialnya, tercerabut dari akar budayanya, kehilangan potensi kemanusiaannya. Pemilahan sosial makin tinggi, kelompok-kelompok fanatis tumbuh subur. Kecemburuan sosial menjamur akibat keterbatasan atas akses atas sumber daya. Sementara pihak lain diberi ijin mengeksploitasi kekayaan alam desa. Sikap curiga sesama warga lebur bersamaan dengan kerinduan hadirnya tertib sosial dengan sulitnya sekedar mempertahankan hidup.

 

Permasalahan

Pendidikan dan pembangunan masyarakat memang telah melahirkan sejumlah perubahan yang signifikan. Proyek-proyek besar, jalan-jalan raya, gedung-gedung mewah, pabrik-pabrik besar, dst. Potret Indonesia kekinian sangat mencengangkan. Pembangunan memperlihatkan suatu kemajuan yang fantastis. Bahkan pada dekade 90-an lalu, banyak ahli dunia meramal Indonesia akan menjadi kekuatan baru bagi pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia. Tapi bersamaan berlangsungnya fenomena mengagumkan itu ternyata ada banyak linangan air mata; banyak masyarakat terpinggirkan, termarginalkan, tak diperhatikan, serta dibiarkan.

Visi pembangunan mencapai masyarakat adil, makmur, sejahtera dan bermartabat, masih sangat jauh ketika dampak negatif pembangunan tak dapat dikelola secara baik. Kita selalu kaget ketika tiba-tiba ada aksi kolektif yang destruktif. Pelapisan sosial kian rawan karena mengalami ketidak-pastian. Corak organisasi formal tak mampu mengantisipasi laju mobilitas vertikal warga. Sementara institusi keagamaan mengalami dilema dalam membingkai tata pikir serta perilaku dalam mencapai kesejahteraan.

Teknologi komunikasi informasi harus didorong dalam memperkuat dan sekaligus merawat hakikat nilai kemanusiaan. Sehingga lautan informasi merupakan komoditas yang bermanfaat dalam meningkatkan peran diri terhadap lingkungan serta membangun pengertian bersama. Informasi menyuguhkan berbagai alternatif jalan keluar atas persoalan yang ada. Di dalamnya tersirat pesan yang mengundang pemahaman dan tindakan nyata setiap jiwa untuk memilih cara-cara yang lebih manusiawi dalam menyelesaikan konflik yang menyangkut sesama manusia.

 

Pembahasan

Konflik disertai kekerasan, terutama secara kolektif, sangat ditentukan oleh setting politik sebuah masyarakat-negara. Setting politik menampilkan kerja-kerja struktur dalam mengelola pemerintahan, termasuk pendidikan dan pembangunan. Kinerja struktural bermuara pada bangun kultur yang meluas dan kian mengakar.

1. Teori Konflik

Menurut Johan Galtung bahwa di dalam konflik terdapat kontradiksi, sesuatu yang menghalangi sesuatu yang lain. Dengan kata lain, terdapat suatu masalah (Johan Galtung, 2003: 157). Situasi tersebut bisa mengarah pada munculnya kekerasan apabila tidak segera diselesaikan. Ada pihak-pihak yang sama-sama menginginkan sesuatu, dalam hal ini sumber daya air.

Situasi klasik tersebut dapat pula disebut sebagai formasi konflik elementer atau atom-atom konflik:

Sengketa Dua orang, atau aktor, mengejar tujuan yang sama

Dilema Satu orang, atau aktor, mengejar dua tujuan yang berbeda (Johan Galtung, 2003: 157-158).

 

Sengketa dapat dengan mudah mengarah pada upaya-upaya untuk merugikan atau mencederai aktor yang menghalangi jalannya untuk mencapai tujuan, dengan kata lain penghancuran-Orang Lain. Sebab konflik membangkitkan energi. Masalahnya adalah bagaimana menyalurkan energi tersebut agar tidak menimbulkan konflik kekerasan.

Konflik bersifat problematis, juga dapat mengarah pada perilaku konstruktif, seperti postur meditatif dan dalam, yang juga dikenal sebagai “dialog batin” dan “dialog luar” dengan orang lain mengenai masalah-masalah. Perilaku destruktif bersifat menghancurkan, melukai dan merugikan. Sedangkan perilaku konstruktif berarti membangun sesuatu. Kedua hal tersebut bisa hadir pada tempat dan waktu yang sama dan pada orang yang sama pula.

 

2. Dialektika Manifes-Laten dan Segitiga Konflik

Dalam konflik terdapat dua sisi, yaitu sisi manifes yang dapat diamati dengan perilaku, dan aspek laten dengan sikap dan kontradiksi. Pada tingkat manifes, empiris dan terlihat, partisipan konflik hanya dapat mengalami, mengamati perilaku, yang disebut P. Baik S dan K berada pada tingkat laten, teoritis, dugaan. Ketiganya secara bersama-sama membentuk segitiga konflik dalam gambar di bawah ini.

 

P, Perilaku

 

Tingkat manifes:

Empiris, teramati, sadar

 

Tingkat laten:

Teoritis, dugaan,

S, Sikap

K. Kontradiksi

bawah sadar

 

 

 

Dengan demikian, suatu kontradiksi mungkin dialami sebagai frustasi, saat suatu tujuan dihalangi oleh sesuatu, yang mengarah pada agresif sebagai sikap dan agresi sebagai perilaku. Kekerasan melahirkan kekerasan. Masalah mendasarnya ialah bahwa proses seperti di atas mungkin juga dimulai dalam S atau P. Satu pihak mungkin memiliki akumulasi sikap-siakp negatif (agresif) atau kecenderungan perilaku negatif (kemampuan, kecenderungan pada agresi); dan ketika ‘sesuatu terjadi tampak seperti suatu masalah, baik S maupun P, atau keduanya, mungkin diaktifkan dan terkait dengan masalah baru. Jika S mengambil suatu bentuk sikap agresif, sebagai emosi permusuhan dan pengakuan negatif atas Orang Lain (‘Feindbild’), sesungguhnya situasinya adalah tentang energi konflik negatif yang terkait dengan kontradiksi, mungkin akibat akumulasi pengalaman di masa lalu, misalnya dengan mendekati konflik terlalu negatif. Namun, energi konflik juga dapat positif-sikap mencintai, kasih sayang, menerima dan pengakuan positif atas Orang Lain (‘Freundbilder’) dan atas Diri. Akumulasi pengalaman konflik mungkin mengarah pada transformasi kepribadian positif; masing-masing pihak dapat juga mengarah pada transformasi dalam arah sangat negatif, sehingga menghasilkan kepribadian pahit, yang penuh dengan kekecewaan.

Dalam suatu sengketa, dua aktor saling mengamati perilaku yang lain, mungkin juga perilaku mereka sendiri. Melalui dialog batin mereka mungkin meningkatkan kesadaran mereka sendiri tentang S dan K, dan mengecek temuan mereka sendiri melalui dialog luar dengan satu sama lain, sehingga menjadi panduan atu sama lain dalam memahami diri mereka sendiri (Johan Galtung, 2003; 163).

 

3. Konflik Aktor dan Konflik Struktur

Pada situasi konflik, kita dapat mengamati satu orang atau (aktor) atau dua kenyamanan total (total ease) atau ketidaknyamanan total (total di-sease), atau keduanya, dengan diri mereka sendiri, pada tingkat P. Situasi tersebut dapat dianggap sebagai ‘ketegangan’ jika ketidaknyamanan tersebut bersifat dominan sekali, dan mengenai ‘ketenangan’ (dis-tension) dalam kasus sebaliknya, dengan mengingat bahwa keduanya tidak meniadakan satu sama lain. Namun, baik ketegangan maupun ketenangan (atau aspek positifnya, daya tarik) mengendalikan suatu konflik dimanapun. Selanjutnya, pihak-pihak yang terlibat dalam suatu konflik berpeluang besar berperilaku menurut kecenderungan untuk berperilaku-seperti iblis atau malaikat, keduanya atau tidak keduanya-bergantung pada kepribadian, yang tentu saja mungkin dibentuk oleh konflik-konflik di masa lalu. (Johan Galtung, 2003: 164).

Dalam konflik aktor, aktor adalah subjek yang sadar akan apa itu (what is) (kognisi), apa yang dia inginkan (kemauan) dan karena alasan tersebut harus (ought to be), dan bagaimana dia merasa (emosi), misalnya, mengenai hubungan antara apa yang ada dan apa yang seharusnya. Jika apa yang seharusnya (ought to be) juga adalah apa yang ada (is), maka mungkin dia mengatakan ‘Aku baik-baik saja, terimakasih’; jika tidak ‘Aku kurang sehat’ mungkin merupakan formulasi verbal keadaan batin yang tersiksa.

Dalam konflik terdapat peluang kekerasan. Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Menurut Jack D. Douglas dan Frances Chaput Waksler, ada empat jenis kekerasan sebagai berikut:

  1. Kekerasan terbuka, yaitu kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian.
  2. Kekerasan tertutup, yaitu kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung, seperti perilaku mengancam
  3. Kekerasan agresif, yaitu kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjabalan.
  4. Kekerasan defensif, yaitu kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri. ( Teori Kekerasan, 2002:11).

 

 

Teori lain yang juga menjelaskan sebab-sebab tindakan kekerasan atau aksi kolektif adalah teori relative deprivation (RD), yang menganalisis transaksi sosial dan psikologis yang menimbulkan dorongan bagi kekerasan politis di antara anggota-anggota suatu kolektivitas. Relatif deprivation adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan ketegangan yang terjadi akibat suatu kesenjangan antara yang harus menjadi (ought) dan yang menjadi/merupakan (is) dalam kepuasan nilai kolektif, dan yang mendorong manusia melakukan kekerasan. Teori tersebut juga menguji nilai, kelas nilai, ekspektasi (pengharapan) nilai, kapabilitas (kemampuan) nilai, dan peluang nilai. Hubungan frustasi-agresi menyebabkan terjadinya dinamika psikologis untuk hubungan antara intensitas deprivasi dan potensi kekerasan kolektif.

Deprivasi relatif didefiniskan sebagai persepsi aktor tentang kesenjangan antara ekspektasi nilai dan kapabilitas nilainya. Ekspektasi nilai adalah barang dan kondisi kehidupan yang oleh manusia diyakini sebagai haknya. Penekanan hipotesis ini adalah pada persepsi deprivasi; secara subjektif acuan terhadap ekspektasi seseorang bisa dihilangkan/dicabut meskipun pendapat lain mengatakan bahwa hal tersebut tidak diinginkan. Sebagaimana Runciman menulis, “Bila orang tidak memiliki alasan untuk meminta atau berharap lebih dari yang dapat mereka capai maka akan kurang puas dengan apa yang mereka miliki, atau hanya bergantung padanya” (Teori Kekerasan, 2002:65)

Standar nilai ditentukan oleh acuan terhadap status yang dicapai individu atau kelompok tempat individu tersebut mengidentifikasi diri. Namun demikian, standar nilai acuan bisa merupakan kondisi masa lampau, cita-cita abstrak, atau standar yang ditentukan seorang pemimpin maupun suatu kelompok acuan. Nilai adalah peristiwa, objek dan kondisi yang diinginkan serta dipertahankan manusia. Nilai merupakan tujuan motivasi manusia, yang menjadi ciri atau berasal dari kebutuhan atau naluri dasar manusia, yaitu needs (kebutuhan), goal (tujuan) atauvalue (nilai).

Kebutuhan telah didefenisikan dalam suatu pengertian yang sangat luas, termasuk kebutuhan somatik dan spiritual, dan kebutuhan yang dirugikan oleh kekerasan langsung dan kebutuhan langsung yang disentuh oleh operasi-operasi lambat, biasanya tidak dikehendaki, dari struktur. Pada tingkat yang paling dasar, hal ini menunjukkan pencideraan di dunia hari ini: negasi kebutuhan kelangsungan hidup yang dikenal sebagai ‘holocaust’: negasi dari kebutuhan kesejahteraan yang dikenal sebagai ‘holocaust senyap’ atau holocaust struktural (Johan Galtung, 2003: 422-423).

Ekspektasi nilai suatu kolektivitas adalah posisi nilai rata-rata yang oleh anggota-anggotanya dianggap berhak dimiliki. Posisi nilai adalah jumlah atau tingkatan nilai aktual yang dicapai. Ekspektasi nilai mengacu pada kondisi sekarang dan masa depan. Manusia biasanya berharap untuk mempertahankan apa yang mereka miliki; yang harus mereka miliki di masa depan yang biasanya lebih besar atau lebih banyak dari yang mereka miliki sekarang. Definisi ekspektasi nilai mengacu pada posisi nilai yang dapat dibenarkan, yang berarti bahwa mereka yakin memiliki hak untuk mencapainya dan memeliharanya, dan bukan sekedar berharap untuk mendapatkannya.

Kapabilitas nilai suatu kolektivitas adalah posisi nilai rata-rata yang oleh anggotanya dianggap mampu dicapai dan dipertahankan. Kapabilitas nilai juga memiliki konotasi masa sekarang dan masa depan. Di saat sekarang, kapabilitas nilai ditunjukkan oleh hasil aktual yang dapat diperoleh manusia atau yang diberikan oleh lingkungannya; disebut posisi nilainya. Di masa depan, kapabilitas nilai adalah apa yang dicapai dan dipertahankan dalam perjalanan waktu karena manusia meyakini bahwa hasil tersebut dimungkinkan oleh keterampilannya, sesamanya, dan penguasaannya; disebut potensi nilai. Sedangkan rangkaian tindakan manusia untuk mencapai dan mempertahankan posisi nilai yang diinginkan disebut peluang nilai, yang dibagi dalam tiga bentuk, yaitu personal, sosietal, dan politis. Pada peluang nilai sosetal, prosedur dan lembaga yang menghasilkan peluang sosietal biasanya memberikan cara agar suatu kolektivitas bisa memperoleh kesejahteraan dan kekuasaan. Sedangkan pengertian politis yang dimaksud adalah prosedur tawar-menawar kolektif yang melaluinya kesejahteraan kolektivitas yang lebih besar dapat diperoleh dari pemilik usaha, dan aktivitas sosial oleh kelompok subkultur yang dibentuk untuk meningkatkan status anggota dalam berhubungan dengan anggota kelompok lain. Deprivasi relevan dengan watak kekerasan kolektif yang membuat banyak orang menjadi tidak puas terhadap persoalan yang sama (Ted Robert Gurr, 2002:66-69).

Morrison menyebut ketidakpuasan dan pertikaian masyarakat desa di negara berkembang sebagai deprivasi relatif, tetapi secara eksplisit dia mengasumsikan rasionalitas dalam bentuk perilaku mereka yang mengalami deprivasi ketika ia memberi hipotesa bahwa “semua upaya untuk mengurangi ketidakpuasan dipilih berdasarkan persepsi probabilitas pelaku terhadap upaya mengurangi ketidakpuasan.

Rumusan teori frustasi-agresi yang paling berpengaruh dikemukakan oleh Dollard dan kerabatnya di Yale pada 1939. Dalil dasarnya adalah, ‘bahwa terjadinya perilaku agresif selalu mengisyaratkan keberadaan frustasi dan, sebaliknya, bahwa keberadaan frustasi selalu menimbulkan beberapa bentuk agresi”. Semakin besar ancaman terhadap kehidupan maka semakin besar respon untuk melakukan kekerasan. Menurut Wedge, “Bila nilai yang diperjuangkan langsung adalah suatu kehidupan, maka respons kekerasan terjadi lebih sebagai reaksi terhadap ketakutan daripada ekspresi/ungkapan kemarahan” (Wedge, 2002:72).

Berkowitz menyatakan bahwa ancaman terhadap kehidupan adalah suatu frustasi yang terantisipasi; ketika tingkat ancaman bertambah, ketakutan dan kemarahan meningkat secara bersamaan, dan dimana tingkat ketakutan mendominasi bisa menjadi “fungsi kekuasaan individu untuk mengendalikan atau melukai kerabat penyebab frustrasi yang kekuasaannya mengendalikan atau melukai dirinya. Mekanisme frustasi-agresi dan ancaman-agresi menghasilkan hubungan motivasional dasar relative deprivation untuk melakukan tindakan kekerasan kolektif. Di sebagian besar terjadinya kekerasan kolektif, banyak partisipan terbukti memiliki tujuan tertentu, dalam arti bahwa mereka mengharapkan tindakan kekerasan untuk meningkatkan posisi nilai mereka.

Bagi Aristoteles, sebab utama revolusi adalah aspirasi untuk persamaan ekonomi atau politik bagi masyarakat umum yang menderita kekurangan, dan aspirasi oligarki untuk mencapai ketimpangan yang lebih besar dari yang telah dicapai sebelumnya, yakni suatu kesenjangan antara barang ekonomi dan politik apa yang dimiliki manusia dan apa yang mereka anggap sebagai hak yang harus mereka miliki. Devies mensyaratkan revolusi bagi terjadinya frustasi yang disebabkan oleh berkurangnya pencapaian jangka pendek setelah peningkatan jangka panjang yang membentuk ekspektasi tentang peningkatan yang berkesinambungan.

Menurut Lerner,

“Penyebaran frustasi di wilayah-wilayah yang kurang berkembang pesat sebagaimana yang diinginkan masyarakatnya dapat dianggap sebagai akibat ketidakseimbangan yang sangat tajam antara pencapaian dan aspirasi …. aspirasi bisa lebih besar dari pencapaian apabila masyarakat, meskipun mereka melakukan beberapa kemajuan, tidak terpuaskan karena memperoleh jumlah yang sangat kecil dibanding jumlah yang diinginkan” (Lerner, 2002: 74).

 

4. Menuju ICT dalam Pendidikan untuk Perdamaian

Mengikuti Paulo Freire (Paedagogy of the Oppressed, dikutip Johan Galtung, 2003: 166), proses penyadaran pihak-pihak yang berkonflik merupakan proses yang sangat mendasar, karena bagaimana mungkin suatu konflik ditransformasikan secara sadar kecuali jika pihak-pihak dalam suatu konflik adalah subjek yang sadar. Bila tidak, konflik akan mentransformasi aktor sebagai objek, pihak-pihak dalam konflik, bukan sebaliknya. Pihak hanyalah seorang penumpang yang diajak untuk naik, bukan sopir yang memimpin proses.

Diperlukan langkah-langkah agar teknologi komunikasi informasi dapat menjadi arena interaksi dan komunikasi multi arah yang bermakna dalam mencapai masyarakat yang damai, antara lain :

a. Formasi Konflik dan Transformasi Konflik

Formasi konflik  diartikan sebagai suatu sistem pencapaian tujtuan-tujuan. Formasi tidak hanya sejumlah aktor dan tujuan, namun menunjukkan juga bahwa terdapat struktur seperti misalnya sistem interaksi. Terdapat saling ketergantungan. Suatu formasi kemudian dapat harmonis atau simbiotik, yang berarti sama-sama meningkatkan kehidupan, sampai pada tingkat bahwa mencapai satu keadaan-tujuan berkorelasi dengan mencapai keadaan-tujuan lainnya. Teknologi komunikasi informasi harus menjadi starting point dalam membangun sistem interaksi yang meninggikan penghormatan pada nilai kemanusiaan.

Hal yang harus ditegaskan kembali bahwa dalam kehidupan riil apapun memiliki aspek harmoni dan disharmoni. Oleh karena itu maka akan ditemukan konflik dan kerja sama. Dalam formasi konflik, aspek disharmoni dari formasi adalah dominan. Sifat yang selalu berdampingan tersebut seharusnya membuat pihak yang berkonflik tidak buta terhadap aspek kooperatif dan harmonis yang mungkin menjadi basis bagi terbangunnya formasi konflik (Johan Galtung, 2003, 177).

Teknologi komunikasi informasi hendaknya menjadi data penting sebagai dasar dalam menentukan arah dan langkah membangun kehidupan yang bermartabat. Informasi yang beragam dan besar membutuhkan pemaknaan secara cermat sehingga menguatkan pengembangan potensi masyarakat untuk saling berdampingan melalui modifikasi-modifikasi terampil dan sesuai dengan cita-cita kemakmuran bersama.

 

b. Transformasi Konflik untuk Konflik Struktural

Konflik yang menyangkut individu-individu memungkinkan mengarah pada polarisasi, yang dapat menyebabkan lebih banyak kekerasan perilaku. Polarisasi berarti penyederhanaan kognitif, yang menghilangkan ambiguitas, melapangkan jalan bagi kognisi hitam-putih, kawan-lawan, dengan emosi dan kemauan yang bersepadan, yang ingin merugikan Orang lain dan membahagiakan Diri Sendiri-sebab melalui polarisasi Diri Sendiri dan Orang Lain terkonstruksi dengan baik.

Pada tingkat kolektif, polarisasi berarti penyederhanaan organisasional, yang mendefenisikan kubu-kubu, mendefenisikan sebab-sebab. Maka dengan pikiran orang secara kognitif, emosional, dan kemauan siap dan tubuh mereka secara kolektif terorganisir sebagai landasan untuk tindakan (Johan Galtung, 2003:203).

Dalam konflik struktural, menurut definisinya, terdapat kekerasan struktural. Kontradiksi atau substansi dasar konflik terletak dalam vertikalitas struktur. Pada aspek politik represi terjadi atas kebebasan, sedangkan dalam kasus ekonomi terjadi eksploitasi atas kesejahteraan. Tetapi struktur represif dan eksploitatif ini kemudian dilindungi oleh pengaturan struktur lain.

Kekerasan struktural menimbulkan defisit kebutuhan. Ketika hal ini terjadi di dalam suatu kelompok, suatu kolektivitas, maka akan menimbulkan trauma kolektif yang mengendap menjadi alam bawah sadar kolektif dan menjadi bahan baku bagi proses dan peristiwa-peristiwa historis utama. Asumsi yang digunakan sederhana: “kekerasan akan menghasilkan kekerasan”. Kekerasan adalah perampasan kebutuhan yang serius; salah satu reaksinya adalah kekerasan langsung.

Lingkaran setan kekerasan dapat dimulai pada pojok kekerasan struktural. Perbedaan sosial secara perlahan-lahan menambah karakteristik vertikal dengan pertukaran tidak setara yang makin meningkat, dan fakta-fakta sosial ini selanjutnya akan mencari aksi-aksi sosial guna pemeliharaan mereka, dan kekerasan kultural sebagai alat pembenarnya-untuk menggeneralisir teori Marxis ‘materialis’ (dalam arti struktural). Lingkaran setan kekerasan dapat pula merupakan kombinasi antara kekerasan langsung dan struktural, dengan satu kelompok yang memperlakukan kelompok lainnya begitu buruknya sehingga mereka merasa perlu menjustifikasi dan dengan bergairah menerima dalih kultural apapun yang diberikan pada mereka (Johan Galtung, 2003: 440-441)

Penyadaran dan mobilisasi adalah proses yang diperlukan untuk mentransformasikan kepentingan dalam konflik struktural menjadi nilai-nilai yang dianut secara sadar dan untuk mentransformasikan pihak yang tak terorganisir dan tidak terkristalisasi menjadi aktor.

Menurut Johan Galtung, terdapat empat langkah untuk mengatasi konflik struktural, sebagai berikut:

  1. Konfrontasi, dengan memilih isu yang mencakup konflik umum dengan menyatakan isu secara jelas, dan menyatakan hasil yang diinginkan.
  2. Perjuangan, untuk mengatasi represi dan/atau eksploitasi.
  3. Pemutusan hubungan, dengan memutuskan hubungan struktural dengan penindas dan/atau pengeksploitasi.
  4. Rujuk kembali, tujuannya adalah struktur horizontal, dengan hak asasi manusia sebagai pengganti penindasan, persamaan sebagai kompensasi eksploitasi, otonomi sebagai pengganti penetrasi, integrasi untuk mengganti segmentasi, solidaritas untuk mengubah fragmentasi, partisipasi untuk menghilangkan marginalisasi (Studi Perdamaian, 2003: 208-210)

 

c. Membangun Keterampilan Mengelola Konflik

Transisi politik Indonesia yang tak jelas arah telah dan akan terus mengancam secara serius nilai kemanusiaan. Dalam medan global, semua hal menyangkut manusia bukan lagi hanya masalah satu desa atau dalam negeri saja. Pencideraan dan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia adalah isu dunia. Dunia akan memandang kita gagal dalam menegakkan prinsip-prinsip kemanusiaan, yang nyata-nyata tercantum setelah sila KeTuhan dalam Pancasila. Reputasi kita tak bisa cuma dibangun dengan retorika saja. Bagaimana bisa Indonesia menjadi bangsa yang bersatu, adil dan beradab, dan beradab, bila setting politik dan pembangunannya justeru jauh dari penghargaan dan cara-cara yang memanusiakan?

Perdamaian harus diarahkan ke titik positif, yang memungkinkan pribadi-pribadi dan sistem memperbaharui diri. Perdamaian merupakan ruang transformasi sistem dan keterampilan dalam mensikapi segala hal yang dapat memicu kekerasan dalam berbagai bentuk. Di dalamnya terdapat semacam mekanisme yang mampu merendam berkembangnya bibit-bibit yang memancing tindak kebrutalan.

Peluang perdamaian seringkali bukan berada di level kelompok, tapi pada masing-masing pribadi. Sebab keputusan kelompok untuk memilih satu jenis tindakan merupakan persoalan politik. Public Enemy (musuh publik) sangat berbeda dengan musuh dalam tingkatan antarpribadi. Pada tingkatan antarpribadi, meski saling berbeda, semua manusia tak ingin bermusuhan. Sikap bermusuhan atau saling serang baru terjadi jika perbedaan ditingkahi oleh kepentingan.

 

Penutup

ICT dalam pendidikan untuk perdamaian berarti menggunakan  ICT, bukan hanya pada pencapaian orientasi material semata, namun harus benar-benar dimanfaatkan untuk memperkuat martabat manusia Indoensia dengan karakter yang dimilikinya.

Konflik merupakan suatu situasi yang membuka peluang bagi terciptanya kerja sama saling menguntungkan. Sehingga dibutuhkan cara menyelesaikannya dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kemanusiaan. Saling serang atau hidup damai berdampingan semuanya adalah pilihan.

Pendidikan atau perdamaian sama-sama menjadikan manusia sebagai subjek utamanya. Sehingga sangat bergantung pada penggalian potensi dasar manusia yang sama-sama mendambakan suasana dan peragaan sikap serta perilaku saling membesarkan, bekerja sama, tolerir, keteguhan untuk lebih banyak memberi dan berbagi. Sehingga diperlukan upaya yang terstruktur dan sistematis agar ICT tidak justeru kian menambah panjang daftar ketidak-pastian, namun memberi petunjuk pencapaian kemakmuran bersama.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Galtung, Johan, (2003), Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Peradaban, Pustaka Eureka, Surabaya

Kasim, Idhal dan Masenus Arus, Johanes Da, (2001), Hak Ekonomi, Sosial, Budaya, ELSAM, Jakarta

Mas’oed, Muhtar, (2000), Kekerasan Kolektif, P3PK UGM, Yogyakarta

Nasikun, (1992), Sistem Sosial Indonesia, Rajawali Press, Jakarta

Ostrom, Elinor, (1994), Rule, Games, and Common-Pool Resources, The University Of Micighan Press, USA

Santoso, Thomas (2002), Teori-Teori Kekerasan, P.T Ghalia Indonesia dan Universitas Kristen Petra, Jakarta

Sihbudi, Riza dan Nurhasim, Moch, (2001), Kerusuhan Sosial di Indonesia, P.T Gramedia, Jakarta

Usman, Soenyoto (2001), Konflik dan Resolusi Sumber Daya Alam.

Shares
Share This