mhs2mhs325399013_375697939547857_5498607231074358916_n25353986_375697912881193_7682697289411622677_nYogyakarta,18 Desember 2017.
Mestinya UU Desa bisa menjadi jembatan emas agar desa mandiri, demokratis dan sejahtera. Namun rupanya supra desa rak rela. Mereka tetap ingin cawe-cawe ambil untung. UU Desa yang revolusioner kini melenceng tak seperti roh awalnya. Itulah salah satu yang mengemuka pada Sarasehan Refleksi 4 Tahun UU Desa No 6 / 2014, di STPMD “APMD” Yogyakarta, Senin, (18/12).

Sarasehan dihadiri sekitar 125 orang yang terdiri dari kepala desa, pendamping desa, pegiat desa, LSM, pejabat Pemda bidang pemberdayaan desa /masyarakat, peneliti, mahasiswa, dan dosen. Sarasehan ini diselenggarakan oleh Pusat Studi Desa dan Adat (PSDA) STPMD “APMD” Yogyakarta dan Forum Pengembangan dan Pembaharuan Desa (FPPD).

Tampil sebagai pemantik diskusi Dr. Sutoro Eko, dosen kampus itu dan juga mantan tim ahli DPR untuk RUU Desa. Menurut Sutoro Eko, sarasehan ini, bertempat di pinggiran, dengan cara swadaya dan gotong royong, kaum pinggiran menggunakan perspektif pinggiran berdiskusi soal 4 tahun UU Desa. Perspektif pinggiran hendak menemukan dan meneguhkan kesejatian desa untuk kepentingan desa dan rakyat, sembari menantang perspektif konsentris (utama, pusat dan tengah) yang hanya sibuk dengan industri dana desa.

“Paling tidak jaring belajar dan gerakan ini berguna untuk saling menyemangati sekaligus mendorong para pemimpin desa dan pegiat desa dalam melewati jalan sempit berliku dan berkelok,” ujar Sutoro.
Dengan sarasehan ini, lanjut Sutoro, curhat original begitu tumpah ruah dalam forum diskusi ini. Ada curhat tentang belenggu regulasi, regulasi untuk mengkriminalisasi, pembodohan desa, laporan desa yang berlapis, pengaturan BUMDesa yang tidak tuntas, tindakan APH yang berlebihan, padat karya yang memiskinkan, desa jadi obyek, proyek yang top down dan ditarget, ruang desa yang sempit, kades tidak sempat mikir penguatan potensi lokal karena sibuk laporan, dan sebagainya.

Menurut Agus Tri Raharjo, mantan kepala desa yang sekaligus sebagai penggerak dan pejuang UU Desa 4 tahun lalu, “Sosialisasi UU Desa ke masyarakat masih sangat kurang. Di setiap desa perlu ditumbuhkan Forum Masyarakat Peduli Desa untuk mengontrol kepala desa dan BPD.”

#SaveUUDesa

Empat tahun lalu, tepatnya 18 Desember 2013, menjadi tonggak pembaruan Desa dengan disetujuinya RUU Desa menjadi UU Desa oleh paripurna DPR. Regulasi tersebut menegaskan pengakuan negara atas hak-hak konstitusional Desa sebagai satuan sosial dan pemerintahan yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional. Desa tidak lagi diperlakukan sebagai bagian dari pemerintah supra Desa. Implikasinya, negara mengakui otonomi Desa untuk mengurus urusannya, termasuk kewenangan yang didapatkan dari asal-usul Desa seperti hak ulayat serta mengelola (bukan menerima) berbagai urusan yang dirumuskan berdasar kepentingan setempat.

Format baru pengakuan eksistensi Desa ini sekaligus diikuti oleh pengembangan berbagai sumber dana penerimaan untuk membiayai kewenangan Desa. Selain kewenangan untuk menggali Pendapatan Asli (termasuk pengusahaan atas aset dan kekayaan milik Desa), Desa mendapatkan sumber penerimaan lain dari APBN berupa Dana Desa. Desa juga juga dipastikan menerima APBD Kabupaten/Kota berupa Alokasi Dana Desa (ADD) dan bagian hasil pajak dan retribusi daerah. Selain itu, juga berpeluang mendapatkan sumber penerimaan lain dari bantuan keuangan dari Provinsi dan Kabupaten/Kota, hibah dan sumbangan pihak ketiga, dan sumber lainnya yang sah.

Secara revolusioner, UU Desa tersebut membuka jalan bagi perubahan fundamental bagi desa denganmenghadirkan kesempatan serta tantangan pada saat bersamaan. Di satu sisi, UU Desa menyediakan ruang bagi Desa untuk menghidupkan kembali demokrasi Desa dengan spirit kemandirian lokal untuk mencapai kemakmuran. UU menyediakan mekanisme Musyawarah Desa (Musdes) dalam memutus urusan strategis Desayang berangkat dari perspektif kepentingan lokal. Disisi lain regulasi itu juga mendudukkan Desa pada tantangan berupa kesiapan pelaku kebijakan baik Desa dan supra Desa dalam menerjemahkan spirit UU Desa menjadi regulasi operasional.

Setelah berjalan empat tahun, spirit UU Desa tersebut belum ditangkap dengan baik oleh pelaku kebijakan oleh Desa dan terutama oleh pelaku kebijakan supra Desa. Berbagai produk regulasi turunan UU Desa dan praktik kebijakan justru menunjukkan intensi hendak membajak UU Desa. Gejala tersebut tampak dari produk hukum (baik PP, Peraturan Menteri, hingga Perda) yang diterbitkan justru memerangkap Desa dalam perkara-perkara teknis-administratif. Alhasil, Para Pamong Desa Desa lebih bergairah mengurus administrasi Dana Desa ketimbang mendinamisasi musyawarah desa sebagai forum redemokratisasi Desa. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa implementasi UU Desa belumlah digerakkan oleh spirit demokrasi, kemandirian dan kerakyatan.

Langgam pembajakan UU Desa tersebut juga dikuatkan dengan pernyataan sikap para birokrat-teknokrat, para ahli, dan juga didukung oleh sebagian politisi bahwa Desa tidak/belum siap mengelola otonomi aslinya. Perangkat Desa misalnya, dianggap tidak menguasai aspek-aspek administrasi keuangan baik dari sisi penganggaran, pelaksanaan, pelaporan, hingga pertanggungjawaban yang rumit. Walhasil, mereka dipaksa untuk menguasai penatausahaan keuangan, namun abai terhadap substansi Dana Desa sebagai instrumen redistribusi kesejahteraan warganya sebagai perwujudan dari konsensus warga Desa yang dibangun dari forum-forum deliberatif warga.

Pernyataan tersebut selalu diletakkan dalam argumen bahwa Desa tidak memiliki kapasitas tata kelola keuangan yang berujung pada berseminya moral hazard para perangkatnya. Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan dengan OTT KPK dalam kasus dugaan penyelewengan Dana Desa yang melibatkan Bupati dan Kajari Pamekasan. KPK sendiri telah menerima 662 aduan publik, sementara Polri menerima 900 aduan dan tengah menindaklanjti 167 laporan terkait pengelolaan Dana Desa. Sebagai tindak lanjutnya, Pemerintah melalui Kementrian Desa, Kementrian Dalam Negeri dan Polri telah menandatangani nota kesepahaman “Pencegahan, Pengawasan dan Penanganan Permasalahan Dana Desa”.

Berbagai argumen yang disajikan telah menyudutkan Desa dengan tidak adil. Jika dibandingkan dengan otonomi daerah sejak tahun 1999, apakah desentralisasi juga telah bebas dari praktik tata kelola korup? Berapa banyak para kepala daerah dan pejabat daerah yang terjerat kasus korupsi? Secara faktual justru memunculkan ungkapan sinikal yang bermakna otonomi daerah tidak menghasilkan desentralisasi kesejahteraan namun justru menghasilkan desentralisasi korupsi yang menyebar ke daerah. Dalam konteks tersebut, sebetulnya menjadi jelas, bahwa praktik-praktik tata kelola yang korup bukan berakar pada desain otonomi daerah.

Hari-hari ini semakin terang benderang, wacana publik diarahkan pada bahwa Desa tidak mampu melaksanakan mandat UU Desa.Isu korupsi Dana Desa selalu dihembuskan untuk melucuti satu per satu kewenangan Desa. Upaya distorsi-reduksi terhadap UU Desa terus dlakukan bahkan oleh negara sendiri. Hal ini semakin menegaskan bahwa negara belumlah berubah: selalu menempatkan Desa sebagai alas kaki kekuasaan Negara. Menjadi penting untuk terus membangun counter terhadap upaya distorsi-reduksi yang terus menggerogoti UU Desa. Menjadi jelas, tantangan hari ini adalah mengembalikan kembali praktik implementasi UU Desa pada marwahnya.

Shares
Share This