Seperti kebiasaan kegiatan di Papua, moderator mengawali dengan mop. “Kabarnya sebentar lagi Facebook akan ditutup. Tapi orang Papua telah menyiapkan gantinya. Yaitu Pacebook,” ujar Tri Agus Susanto, moderator acara itu. Ia juga menyampaikan ke pembicara, Aprila Wayar, bahwa APMD itu plesetannya Akademi Pace Mace Doang. Aprila sendiri suatu saat pernah mengatakan APMD itu Uncen Kedua karena banyak mahasiswa asal Papua.

Aprila yang tampil sebagai pembicara bedah buku yang diselenggarakan Prodi Ilmu Komunikasi STPMD “APMD” Yogyakarta pada (19/4) itu, mengatakan dirinya menulis novel dengan genre sejarah karena ingin masyarakat mengetahui kepingan-kepingan peristiwa yang tak tertulis dalam sejarah Papua. Ia mengaku sangat terinspirasi dari penulis besar Indonesia Pramudya Ananta Toer.

Melalui novel “Sentuh Papua” Aprila ingin memberi pesan melalui tokoh utama, yang seorang jurnalis asing, bahwa Papua butuh kebebasan memperoleh informasi. Masyarakat di luar Papua juga harus tahu apa yang terjadi sebenarnya di bumi cendrawasih.

Aprila juga sempat menyinggung Presiden Jokowi yang sudah beberapa kali berkunjung ke Papua. “Saya mengapresiasi pak Jokowi. Tak ada presiden yang mengunjungi ke Papua sebanyak pak Jokowi. Presiden lain lebih banyak mengirim tentara,” ujar kelahiran Jayapura 15 April 1980 ini. Ditambahkan Aprila, sayangnya pak Jokowi itu orang sipil sehingga kebijakan terkait keamanan kurang maksimal. Tentara dengan alasan keamanan masih menganggap Papua dearah panas sehingga jurnalis asing harus berizin khusus jika mau meliput di Papua. Jika ada kesempatan bertemu Presiden Jokowi, Aprila akan menyampaikan, “Papua butuh lebih banyak guru, dokter, dan petugas medis lainnya. Bukan tambahan tentara.”

Buku Sentuh Papua: 15.000 miles, 153 hari, satu cinta, menurut alumnus Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta ini, adalah novel ketiganya. Sebelumnya, ia menulis “Mawar Hitam Tanpa Akar” (2009) dan “Dua Perempuan” (2013).  “Sentuh Papua” diterbitkan BukuKatta Solo bekerjasama dengan APRO Publisher berdasar pada kisah nyata. Ia ingin menulis sejarah Papua dengan sastra. Meskipun novel adalah fiksi namun setting waktu dan tempat juga sebagian tokoh adalah nyata.

Aprila mengaku sejarah Papua apalagi OPM adalah sejarah laki-laki. Itulah sebabnya dirinya sering mendapat kendala saat melakukan riset. Terutama saat mewawancai tokoh di beberapa kota di Papua. Perempuan kelahiran Jayapura dan masa kecil di Wamena ini, yang kini sering menghadiri berbagai festival sastra dalam dan luar negeri termasuk Ubud Writer Festival 2012 (padahal diundang sejak 2009) merasa budaya membaca di Papua sangat minim. Bahkan Fakultas Sastra Universitas Cendrawasih Jayapura kurang apresiasi terhadap karya-karyanya.

Aprila yang dianggap sebagai novelis perempuan Papua pertama, menulis sejak di bangku SMP di Tasikmalaya, merencanakan menulis tetralogi novel sejarah Papua dan “Sentuh Papua” sebagai novel pertama. Melalui novel setebal 374 halaman ini, jurnalis di Tanah Papua News ini, mengritik kepada orang siapa saja, termasuk orang Papua sendiri yang mengaku berjuang padahal tak melakukan apa-apa.

 

Shares
Share This