Hari ini, Rabu (18/4) sebuah buku terbitan Penerbit Djaman Baroe diluncurkan di kampus STPMD “APMD” Yogyakarta. Buku berjudul DUA KALI MERDEKA ESAI SEJARAH POLITIK TIMOR LESTE karya Avelino M. Coelho, pada saat yang sama didiskusikan dengan pembicara penulis sendiri dan pembahas oleh Max Lane, seorang pengajar sejarah dan politik dari Victoria University, Australia. Kegiatan ini merupakan kerjasama antara Prodi Ilmu Komunikasi, Ikatan Mahasiswa Komunikasi (Imako) Associacao doa Estudantes de Timor Leste (AETIL) dan Penerbit Djaman Baroe.

Menurut Avelino, seorang aktivis pro kemerdekaan yang kini menjadi menteri energi dalam kabinet Xanana Gusmao ini, yang dimaksud dengan merdeka dua kali adalah Timor Leste pernah memproklamasikan diri sebagai negara merdeka pada 28 November 1975, lalu yang kedua 20 Mei 2002. Avelino mengaku bukunya belum sempurna. Masih harus ada penelitian lebih lanjut. Namun yang jelas, buku yang ia tulis merupakan pandangan dan pengalamannya selama zaman Portugal dan transisi, selama zaman Indonesia dan era pergerakan, dan tentu saja zaman di bawah administrasi PBB dan pemerintah saat ini.

Avelino adalah pelaku sejarah berdirinya negara baru Timor Leste. Tak banyak aktivis yang menuangkan pengalaman dan pandangannya dalam bentuk buku. Meski Avelino saat ini adalah bagian dari pemerintah, namun sikap kritisnya tak pernah hilang. Ia mengkritisi soal mengapa bahasa Portugal dipakai sebagai bahasa resmi. Bagi Avelino, hanya sedikit orang Timor Leste yang menggunakan bahasa Portugal. Justru jauh lebih banyak yang menguasai bahasa Indonesia, termasuk Avelino yang merupakan alumnus Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta ini.

Sementara itu Max Lane, penulis kata pengantar buku sampul merah setebal 123 halaman ini, menilai bahwa Avelino banyak mengungkap hal-hal penting yang selama ini belum diketahui oleh masyarakat Indonesia. Max membandingkan antara proklamasi kemerdekaan 28 November 1975 dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Di Dili proklamasi dihadiri ribuan massa, sementara di Jakarta hanya puluhan orang. Di Dili proklamasi itu kemudian dijawab oleh invasi Indonesia pada 7 Desember 1975, lalu dilanjutkan era Indonesia hingga 1999. Proklamasi Agustus 1945 hingga saat ini tak diakui oleh Belanda. Negeri Belanda hanya mengakui Indonesia merdeka pada 17 Desember 1949, bertepatan dengan penyerahan kedaulatan Belanda kepada RI.

Peluncuran buku yang dihadiri 150 orang, terutama mahasiswa STPMD ‘APMD’ dan juga mahasiswa asal Timor Leste yang belajar di kampus-kampus di Yogyakarta. Seorang peserta bahkan datang khusus dari Jakarta untuk bertemu Avelino. Aktivis perempuan itu bertanya tentang bagaimana keadaan Timor Leste saat ini. Pertanyaan ini cukup mengelitik, pasalnya setelah berpisah dengan Indonesia sangat minim berita datang dari Timor Leste. Bahkan pemilu presiden putaran kedua yang dimenangkan Taur Matan Ruak pada 16 April 2012, beritanya di Indonesia sangat minim. Namun kalau ada berita kerusuhan, seperti terjadi pada 2006, beritanya sangat heboh seperti hebohnya perkawinan antara Kris Dayanti dengan Raul Lemos.

Peluncuran dan diskusi buku ditutup dengan pemberian kenang-kenangan kepada pembicara. Kepada Max Lane diberikan tais, kain khas Timor Leste. Kepada Avelino, diberikan blangkon, penutup kepala khas Jawa, yang layak diberikan kepada sang ketua Partai Sosialis Timor (PST). Usai pemberian kenang-kenangan peserta bernyanyi dan menari bersama Avelino diiringi musik khas Timor Leste berjudul “Tebe-tebe”.

Tri Agus Susanto
Moderator / satf pengajar di Prodi Ilmu Komunikasi bisa dihubungi di 0858 832 41 531

Shares
Share This