(Tim penyusun mahasiswa STPMD “APMD” :Grettanata Surantika Nazara, Yosep Richardo Afian Pio, Nur Setyaji Prajoko, Maria Monika Ranti, Ainna Paradiva Gandasari, Katrine Gemini, Meltylde Da Lopez, Ferdinandus Alfrdy Pundoyo Putra Selatan, Gegas Prayoga. Dosen Pembimbing : Habib Muhsin, S.Sos, M.Si)

Ekowisata Nologaten

Ekowisata Nologaten, salah satu kawasan wisata yang terletak di RW.04, Nologaten, Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan ekowisata yang terbentuk pada tahun 2019 ini berawal dari program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) yang dimulai dari sisi selatan di tahun 2017 dan terus dibangun hingga melewati RW 04 Nologaten. Pengembangan kawasan ekowisata mendapat bantuan dari PU dan Dinas Lingkungan Hidup. Sebelumnya kawasan ekowisata merupakan lahan pertanian dengan saluran irigasi yang melintasi Nologaten, dan berubah menjadi kawasan pembuangan sampah yang kumuh ketika pemukiman warga bertambah padat hingga kemudian dialihkan oleh Kotaku menjadi kawasan yang bersih, rapi, dan layak huni.

Kawasan ekowisata Nologaten memiliki tempat sampah khusus yang dibangun oleh Kotaku dan Dinas Lingkungan Hidup, sehingga masyarakat sekitar tidak membuang sampah sembarangan di sepanjang bantaran sungai Gajah Wong yang melintasinya. Adapun jumlah perumahan penduduk semakin bertambah dan tertata rapi, dan beberapa area tanah kas desa disewa oleh warga sekitar untuk mendirikan tempat tinggal. Ekowisata ini memiliki beberapa sarana rekreasi seperti flying fox, gazebo, limasan, tempat duduk, jembatan, dan lain sebagainya. Sarana-sarana tersebut merupakan bantuan dari pihak desa dan Dinas Pariwisata. Seiring dengan berjalannya waktu, untuk menambah daya tarik wisatawan, warga sekitar pun memelihara ikan dengan membuat kolam di sekeliling gazebo. Ikan tersebut merupakan bantuan dari pihak Dinas Perikanan.

Pembangunan ekowisata tersebut disambut dengan baik oleh masyarakat, bahkan di tahun 2019 hingga 2020 jumlah pengunjung yang datang sangat banyak. Ekowisata Nologaten tidak hanya menjadi satu-satunya potensi yang dimiliki oleh masyarakat setempat, namun terdapat beberapa potensi yang dikembangan pula salah satunya ialah rumah gamelan. Kawasan Ekowisata dikelola bersama oleh warga sekitar dengan menggunakan dana kas RW. Selain itu juga peran kelompok masyarakat sekitar seperti Ibu-ibu RT 01 dan Pokdarwis turut andil dalam pengelolaan ekowisata.

Ekowisata diharapkan dapat menjadi bisnis bagi masyarakat, dan untuk saat ini fokus beberapa masyarakat sekitar ialah pada kulineran seperti berjualan makanan. Keberadaan ekowisata ini cukup membantu perekonomian masyarakat sekitar walaupun tidak seberapa. Masyarakat didorong untuk mandiri dalam memanfaatkan potensi yang sudah dibangun, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Fasilitas yang disediakan oleh pemerintah dalam menata kawasan ekowisata kemudian dikelola dan dikembangkan warga sekitar, dengan menambah fasilitas-fasilitas baru yang dirasa mampu memikat daya tarik pengunjung. Hal ini cukup didukung dengan teori Trickle Down Effect oleh Albert Otto Hirschman pada 1954. Adanya pengalihan fungsi kawasan kumuh menjadi kawasan ekowisata, mampu menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar. Selain itu juga ide untuk membuka usaha seperti angkringan di kawasan sekitar menjadi peluang yang dimanfaatkan oleh warga.

Meskipun demikian tidak semua warga sekitar memiliki waktu untuk mengelola ekowisata, dikarenakan warga memiliki kesibukan masing-masing. Dalam hal promosi, pengurus inti kampung yang memiliki tanggung jawab dalam mempromosikan ekowisata sedangkan tenaga anak muda sama sekali tidak ada. Hal ini pun berlaku untuk penanggung jawab pengelolaan kawasan ekowisata yang sebagian besarnya merupakan masyarakat yang sudah berumur seperti pengurus resmi desa dan ibu-ibu yang tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT) di sekitar ekowisata yang bertugas membersihkan area sekitar, merawat tanaman, serta menjajakan makanan di angkringan sekitar.

Area ekowisata pun biasanya dijadikan sebagai tempat bermain anak-anak di hari Sabtu dan Minggu, seperti outbound hanya saja jika dijadikan sebagai objek wisata yang besar belum memungkinkan karena kawasan ekowisata ini baru dirintis. Selain itu juga hasil pendapatan yang dimiliki pun tidak seberapa. Hasil sewa area sekitar ekowisata seperti limasan, pun biasanya digunakan untuk membiayai pengelolaan ekowisata seperti listrik. Tentunya hal yang sangat diharapkan dari keberadaan ekowisata ini ialah kesadaran warga sekitar untuk fokus dalam mengelola area ekowisata, terutama anak mudanya.

Meskipun terdapat pegiat dalam mengelola ekowisata seperti Pokdarwis, namun terjadi kemerosotan dalam pengelolaan. Kurangnya tenaga dalam mengelola ekowisata ini, menjadi suatu tantangan dalam pengembangan potensi yang dimiliki. Dalam human development, kualitas SDM menjadi hal utama dalam pembangunan. SDM menjadi faktor utama dalam pengembangan dan keberlanjutan potensi yang dimiliki. Generasi penerus dibutuhkan agar potensi yang dikelola tidak mati dan terus mengalami peningkatan. Oleh karena itu peran anak-anak muda sekitar dalam mengelola ekowisata Nologaten menjadi harapan besar.

Proses Pemberdayaan

Pertama, Identifikasi Potensi dan Masalah: (a) Pemulihan Kawasan: Identifikasi potensi ekowisata dalam kawasan yang sebelumnya merupakan area pertanian dan kemudian menjadi tempat pembuangan sampah. (b) Partisipasi Program Kotaku: Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) sebagai pendorong awal untuk mengubah kawasan menjadi ekowisata.Kedua, Partisipasi Masyarakat: (a)Pembangunan Infrastruktur: Pembangunan tempat sampah, sarana rekreasi, dan kolam ikan melibatkan masyarakat setempat. (b) Pengelolaan Bersama: Pengelolaan kawasan ekowisata melibatkan warga, termasuk kelompok masyarakat seperti Ibu-ibu RT 01 dan Pokdarwis.Ketiga, Pengembangan Potensi:(a)Diversifikasi Fasilitas: Pengembangan sarana rekreasi seperti flying fox, gazebo, dan kolam ikan untuk meningkatkan daya tarik wisatawan. (b) Pemanfaatan Potensi Lain: Pengembangan rumah gamelan sebagai diversifikasi potensi ekonomi lokal.

Dampak Pemberdayaan

Pertama, Peningkatan Ekonomi Lokal: (a) Lapangan Kerja Baru: Pengelolaan ekowisata menciptakan lapangan kerja baru, khususnya dalam sektor kuliner dan jasa pariwisata. (b) Peningkatan Pendapatan: Bisnis kuliner dan usaha lainnya di sekitar ekowisata menjadi sumber pendapatan tambahan bagi masyarakat.Kedua, Pengembangan Infrastruktur: (a) Penataan Lingkungan: Transformasi dari kawasan kumuh menjadi ekowisata memberikan dampak positif pada penataan lingkungan sekitar.

(b) Aksesibilitas: Pembangunan infrastruktur pendukung seperti jembatan dan tempat duduk meningkatkan aksesibilitas wisatawan.Ketiga, Peningkatan Kesadaran Lingkungan: (a) Edukasi Lingkungan: Pembangunan tempat sampah dan peran Dinas Lingkungan Hidup meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kebersihan lingkungan. (b) Pemanfaatan Limbah: Pemanfaatan lahan bekas pertanian dan saluran irigasi untuk ekowisata menunjukkan upaya mendaur ulang dan pengelolaan limbah.

Faktor pendukung dan penghambat

Pendukung: (a) Partisipasi Aktif Masyarakat: Keterlibatan aktif masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan menjadi faktor kunci. (b) Dukungan Pemerintah: Bantuan dari Pemerintah dalam bentuk Dana Kas RW dan bantuan dari berbagai dinas menciptakan dasar yang solid.

Hambatan: (a) Kurangnya Tenaga Muda: Kurangnya partisipasi tenaga muda dalam pengelolaan ekowisata menjadi hambatan utama. (b) Keterbatasan Sumber Daya: Terbatasnya waktu dan sumber daya manusia untuk mengelola dan mengembangkan potensi ekowisata.

Keterkaitan dengan teori Pembangunan

Pertama, Trickle Down Effect: Konsep pengalihan fungsi dari kawasan kumuh menjadi kawasan ekowisata menciptakan lapangan kerja baru, mendukung teori Trickle Down Effect yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan menguntungkan seluruh lapisan masyarakat.Kedua, Human Development: Pentingnya peran generasi muda dalam pengelolaan ekowisata mencerminkan konsep Human Development, di mana kualitas sumber daya manusia menjadi faktor utama dalam pembangunan dan keberlanjutan potensi lokal.

Pemberdayaan di kawasan ekowisata Nologaten mencerminkan upaya transformasi sosial dan ekonomi masyarakat melalui partisipasi aktif, pemanfaatan potensi lokal, dan pengembangan infrastruktur. Dalam menghadapi hambatan, peningkatan partisipasi generasi muda dan manajemen sumber daya manusia menjadi kunci keberlanjutan dan pengembangan potensi ekowisata di masa depan.

DOKUMENTASI

Shares
Share This